Reformasi Ganja Indonesia Dan Dunia: Sejarah Ganja di Thailand Bagian Dua

Sabtu, 09 Juli 2016

Sejarah Ganja di Thailand Bagian Dua


Sejarah Ganja di Thailand
Pada tahun 1976, Raja Thailand Bhumibol Adulyadej memproklamirkan Narcotics Control Act, B.E. 2519 (Undang-Undang Pengawasan Narkotika, BE 2519) yang berupa amanat yang didanai pemerintah AS melalui ONCB (Office of Narcotics Control Board).
Tahun 1975 UU Narkotika Thailand upgrade dengan memasukkan 108 zat psikotropika kedalam klasifikasi narkotika. UU Narkotika Thailand 1922 dan Kratom Plant Act 1943, digabung menjadi UU Narkotika Thailand 1979 (Thailand Narcotics Act, BE 2522).
UU Narkotika Thailand 1979 menyebutkan hukuman untuk kepemilikan ganja di Thailand dengan tuntutan:
Untuk kepemilikan hingga 10kg, hukuman maksimal adalah 5 tahun penjara dan/atau denda 50.000 Baht.
Untuk memiliki lebih dari 10 kg, itu dianggap sebagai kepemilikan dengan maksud untuk menjual. Tuntutan hukum berkisar antara 2 – 15 tahun penjara, dan/atau termasuk denda 20.000 sampai 150.000 Baht.
Untuk kepemilikan 10kg atau lebih dengan maksud untuk produksi, impor atau ekspor ganja, tuntutannya sama.
UU Narkotika di Thailand dan Pengaruh Amerika Serikat
Pemerintah AS membuka kantor DEA (Drug Enforcement Administration) di Bangkok pada tahun 1963. DEA saat ini memiliki kantor di Bangkok, Chiang Mai dan Udon Thani dan baru-baru ini DEA menutup kantornya yang berlokasi di kota Songkhla, sebelah selatan Thailand. Kantor DEA di Thailand terdiri dari 6 persen pegawai DEA yang bekerja di luar negeri yang menjadikan AS sebagai urutan keempat terbesar negara di dunia dalam mengalokasikan personelnya. Pada tahun 2006, Kantor DEA Thailand memiliki 47 personel yang bekerja penuh. Jumlah agen DEA AS yang saat ini bekerja penuh waktu di Thailand tidak diketahui. Agen DEA di Thailand dilaporkan memiliki hak istimewa untuk mempersenjatai dirinya. Jika ini benar, DEA akan menjadi satu-satunya lembaga penegak hukum asing yang diperbolehkan memiliki senjata sendiri.
DEA menjalankan sejumlah program di Thailand. Salah satu program penting adalah program ‘Hot Spot’ yang beroperasi di Pattaya. Program Hot Spot menyediakan hadiah uang tips untuk informan. DEA telah melakukan sejumlah operasi yang dipublikasikan di Thailand termasuk penjebakan (Operation Tiger Trap), operasi sengatan (Sting Operation) dan ekstradisi.
Kebijakan dan Tren
Meskipun Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika 1961 mengklasifikasikan narkotika dalam empat kategori, tetapi UU Narkotika di Thailand dan Controlled Substances Act 1970 di Amerika Serikat sama-sama berisi lima kategori. Berbeda dengan Amerika Serikat, Thailand mengklasifikasikan ganja, jamur ajaib (magic mushrooms), dan daun Kratom (tanaman asli tradisional yang digunakan untuk tujuan pengobatan dengan sifat adiktif yang ringan) ke dalam kategori narkotika paling serius dari kelima kategori yang ada.
Pada tahun 2002 seperti yang dilaporkan dalam surat kabar ‘The Nation’, Perdana Menteri Thailand pernah mengusulkan legalisasi jenis narkotika yang dianggap sedikit berbahaya seperti ganja (soft drug) dalam rangka untuk memikat pecandu agar menjauhi narkotika yang lebih berbahaya (hard drugs). Sementara usulan tidak diterima, tetapi pada prakteknya hukum di Thailand memandang narkotika seperti heroin dan metamfetamin sebagai ancaman yang lebih berbahaya dibandingkan marijuana.
Sekarang, Thailand tidak lagi mempertahankan statusnya sebagai produsen ganja terbesar. Intelijen Divisi Penegakan Hukum DEA pada tahun 2001 melaporkan bahwa upaya pemerintah Thailand selama pemberantasan narkoba telah memaksa pedagang ganja untuk merelokasi pertanian ganja mereka ke negara-negara tetangga seperti Laos atau Kamboja. Namun budidaya tanaman ganja lokal masih bisa ditemui di Timur Laut Thailand, khususnya di provinsi Nakhon Phanom, Mukdahan dan Sakhon Nakhon.
Pada tahun 2003, pemerintah Thailand meluncurkan “Perang Terhadap Narkoba” dalam rangka merespon masuknya metamfetamin (bahasa lokal disebut-ya baa) dari Burma yang membanjiri negeri ini. Pemerintah Thailand mengklaim bahwa penggunaan metamfetamin di Thailand telah meningkat lebih dari 1.000 persen antara tahun 1993 dan 2001.
Catatan awal mengenai perang narkoba dan ketakutan di Thailand sulit didapat, sekalipun dari Kantor ONCB (Office Narcotics Control Board). Tetapi menurut info yang didapat, memang menunjukkan ke arah itu.
Pada tahun 2004, jumlah kasus pengedar ya-baa meningkat 256 persen dari 34.860 pada tahun 2004 dan menjadi 124.121 pada tahun 2009. Sementara kasus yang melibatkan Ice (kristal metamfetamin Hidroklorida) meningkat sebesar 1.411 persen dari 265 kasus pada tahun 2004 dan menjadi 3.464 kasus di tahun 2009. ONCB mengatakan bahwa selama periode yang sama, kasus yang melibatkan ganja meningkat hanya 72,75 persen.
Tahun 2010, ONCB mencatat bahwa ada 138.013 kasus Ya-baa, 712 kasus heroin, 6.669 kasus Kratom, 12.021 kasus ganja kering dan 635 kasus ganja segar.
Tidak jelas mengapa metamfetamin dan penggunaan kratom meningkat, sedangkan penggunaan zat-zat yang lebih “tradisional” seperti ganja lambat. Hal yang menarik adalah data yang menunjukkan bahwa penggunaan heroin menurun. Menurut beberapa laporan, pemuda Thailand menganggap ganja menjadi anakronistik, merupakan peninggalan dari era pertanian yang hilang. Akan tetapi beberapa pemuda Thailand yang kaya lebih menyukai “club drugs” seperti ekstasi dan ketamin.
Thakoon Chantararangsi, seorang pengacara Thailand di yang bekerja di firma hukum Bangkok Chaninat & Leeds bercerita tentang bagaimana wisatawan yang ditangkap karena ganja diperlakukan dalam sistem peradilan Thailand. Ganja adalah ilegal di Thailand dan bagi yang tertangkap akan mendapatkan tuntutan hukum yang serius. Tetapi kebanyakan orang yang ditangkap karena kepemilikan ganja dalam jumlah kecil hanya dikenakan denda, bukan di penjara walaupun sebenarnya hakim memiliki kebijaksanaan untuk menjatuhkan hukuman penjara. Polisi Narkotika di Thailand saat ini melihat metamfetamin (ice dan ya baa) sebagai isu yang lebih serius.
Kebudayaan dan Reformasi
Tidak seperti Amerika Utara, Eropa dan daerah lainnya, gerakan legalisasi ganja tidak nampak jelas di Thailand. Akan tetapi sub-kultur yang sangat pro-ganja dalam budaya Thailand dapat kita rasakan terutama pada musik dan fashion.
Seperti “Gerakan Hippy”, di Thailand ada sebuah gerakan yang disebut gerakan “Peua Cheewit” (terjemahan: “untuk hidup”) adalah gerakan musik dan sosial yang didirikan pada 1970-an di era turbulen dalam sejarah Thailand. Para pendiri gerakan Cheewit Peua adalah mahasiswa dari Universitas Ramkhamhaeng dan Thammasart, yang melakukan protes terhadap apa yang mereka anggap suatu praktik represif pemerintah Thailand. Gerakan tersebut merupakan bagian dari gerakan demokrasi di Thailand pada saat itu.
Banyak protes berakhir dengan kekerasan. Misalnya pada tahun 1976, empat puluh enam mahasiswa ditembak oleh pasukan pemerintah saat demo protes di kampus Universitas Thammasat (disebut sebagai Pembantaian Universitas Thammasat). Namun demikian, gerakan yang mendorong perubahan politik di beberapa daerah telah menciptakan budaya anak muda berdasarkan gaya hidup egaliter dan non-materialistik.
Dua grup band yang paling terkenal dari gerakan Cheewit Peua adalah Carabao dan Maleewana. Nama Maleewana itu sebenarnya mengambil pada nama mariyuana. Marijuana bukan kata umum untuk ganja di Thailand. Di Thailand marijuana/cannabis disebut dengan nama “ganja”. Video clip band Maleewana yang berjudul “Kratom Ganja” merupakan aliran klasik folk-rock Thailand yang bercerita tentang sebuah pertanian ganja di pedesaan. Carabao juga memiliki lagu tentang ganja berjudul “Marijuana Gunja.”
Serat Hemp masih menjadi bahan baku yang populer untuk membuat kemeja, celana, dan jenis-jenis item pakaian di Thailand. Simbol internasional dukung legalisasi ganja seperti logo bergambar daun ganja dapat ditemukan pada t-shirt di Thailand. Biasanya generasi muda Thailand mengenakan pakaian yang dihiasi dengan motif daun ganja.
Musik Reggae sangat populer di Thailand, khususnya di kalangan kaum muda Thailand. Kecenderungan ini bisa dilihat dari musik yang diputar di berbagai bar dan klub di Bangkok, Chiang Mai, dan pulau-pulau Thailand untuk wisatawan. Meskipun banyak penggemar Reggae menikmati musik dan fashion tanpa merokok ganja, artikel tentang hemp clothing (pakaian yang terbuat dari serat ganja) dan logo daun ganja adalah bagian intrinsik dari budaya Reggae. Banyak turis dari aliran counter-culture berkumpul di Thailand dengan tujuan pariwisata ganja. Menurut Chaninat & Leeds, “karena wisata ganja sudah umum diketahui banyak orang bukan berarti Anda tidak akan ditangkap karena menggunakan ganja.” Banyak kasus penangkapan narkoba berasal dari daerah wisata seperti Khao San Road dan Koh Phangan. (cpt)
Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar