Sejak sekitar satu tahun belakangan ini gerakan legalisasi ganja Indonesia yang dipimpin oleh Lingkar Ganja Nusantara mendapatkan hantaman dan cobaan beruntun. Para aktivisnya di berbagai regional di seluruh Indonesia; Gresik, Surabaya, Kepulauan Riau, Kisaran, Makassar, Malang, Bali, Bandung, Jakarta, Jogja, Blitar, Ambon, dan regional-regional lain, ditangkapi dan dihadapkan ke pengadilan dengan ancaman hukuman pidana yang berat. Sumber dayanya yang terbatas seolah-oleh dipangkas, setiap langkahnya dihadang, dan setiap gerakannya ditindas.
Mereka-mereka yang anti dan menentang gerakan legalisasi ganja barang kali bersorak-sorak kegirangan dan bersuka ria karena mengira dan berharap gerakan legalisasi ganja akan lumpuh dan hancur. Tetapi kita, generasi bangsa Indonesia yang memperjuangkan legalisasi ganja, terutama yang tergabung di dalam barisannya LGN, harus senantiasa menggenggam kesadaran, seperti yang diajarkan oleh Ir. Soekarno dalam salah satu tulisannya di Suluh Indonesia Muda dalam tahun 1928, bahwasannya, “Pergerakan itu maju kalau tidak ditindas…. Pergerakan itu juga maju kalau ditindas.”
Mari kita tunjukan dan buktikan, bahwa mereka yang menentang dan berniat menghancurkan gerakan legalisasi ganja, sebenarnya tidak punya pilihan. Karena bagaimanapun kita akan mencapai tujuan yang kita cita-citakan.
Tulisan ini bermaksud untuk mengingatkan dan sekaligus menegaskan tentang tujuan utama gerakan legalisasi ganja Indonesia (gerakan kita) dan ancaman terhadapnya. Gerakan kita adalah perjuangan mengejar keadilan dan keselamatan. Sedangkan dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara, sumber dari keadilan dan keselamatan adalah hukum.
Demi terpenuhinya keadilan dan keselamatan bagi seluruh warga negara dan segenap tanah air, maka hukum kita harus berdaulat. Hukum yang berdaulat adalah hukum yang menjamin terpenuhinya keadilan dan keselamatan bagi seluruh warga negara dan segenap tanah air. Dengan begitu, kedaulatan hukum adalah bukti kedaulatan negara. Karena hanya negara yang berdaulatlah, yang dapat menjamin keadilan dan keselamatan bagi seluruh warga negara dan segenap tanah airnya.
Gerakan kita, yang visinya adalah memanfaatkan pohon ganja sebagai “aset kapital” bangsa demi tegaknya kedaulatan berdasarkan ajaran Pancasila, berhadapan dan berbenturan dengan hukum, dalam hal ini UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Seperti apa sebenarnya watak dan sifat dari UU Narkotika tersebut sehingga berhadapan dan berbenturan dengan perjuangannya LGN? Apakah sebagai hukum, UU tersebut tidak dapat menjamin keadilan dan keselamatan? Apakah UU tersebut justru membuktikan lenyapnya kedaulatan hukum kita, dan sekaligus cermin dari menguapnya kedaulatan negara kita?
Untuk dapat memahami watak dan sifatnya UU Narkotika itu, kita dapat mencari tahu dari asal usulnya. Dengan mengetahui asal usulnya, kita dapat menganalisa dan mengetahui pula kepentingan-kepentingan yang melatarbelakangi lahirnya UU tersebut. UU Narkotika yang dimiliki oleh Republik Indonesia sejak 1976, lahir dari “Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika” (The United Nations Single Convention on Narcotic Drugs), yang digelar di New York tahun 1961.
Sesuai dengan rekomendasi dari konvensi tersebut, maka UU Narkotika di Republik Indonesia memasukan ganja sebagai golongan satu. UU itu juga menyatakan bahwa Narkotika golongan satu adalah jenis yang paling berbahaya dan paling sering disalahgunakan, karena itu Narkotika golongan satu tidak boleh digunakan bagi tujuan apapun kecuali kepentingan IPTEK. Sedangkan bagi siapa saja yang berani menggunakan dan memanfaatkannya akan diberi sanksi pidana dengan ancaman penjara yang sangat berat.
Seperti yang dikehendaki oleh Konvensi PBB tersebut, maka UU Narkotika kita telah menempatkan ganja sebagai momok yang paling menakutkan, dan ancaman yang paling berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Dengan demikian, nampak jelas bahwa UU tersebut tidak dapat menjamin terpenuhinya keadilan dan keselamatan, dan karenanya berlawanan serta berbenturan dengan cita-cita perjuangan LGN.
Sekarang, marilah kita selidiki asal usul dari UU Narkotika kita itu. Seperti telah disebutkan di atas, UU terebut lahir dari The United Nation Single Convention on Narcotic Drugs tahun 1961. Pada waktu itu masih terjadi perbedaan pendapat di antara delegasi negara-negara yang hadir dalam konvensi, apakah ganja benar-benar layak untuk digolongkan sebagai Narkotika.
Keputusan untuk memasukan ganja ke dalam golongan Narkotika akhirnya dilakukan secara voting. Dan ternyata tidak semua Negara peserta konvensi langsung meratifikasi hasil konvensi tersebut. Republik kita baru meratifikasi hasil Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika tersebut pada tahun 1976.
Dengan dilakukannya voting dalam konvensi itu untuk mengesahkan ganja sebagai Narkotika, maka kita dapat menduga bahwa argumentasi-argumentasi ilmiah dan bukti-bukti sejarah tentang tanaman ganja telah diabaikan. Sementara banyak pihak berpendapat bahwa heroin dan kokain adalah substansi yang lebih berbahaya dan lebih mendesak untuk diperhatikan dan ditangani. Maka langkah voting untuk menentukan status ganja sebagai Narkotika dalam konvensi tahun 1961 tersebut terlalu dipaksakan. Jika ada sesuatu yang begitu dipaksakan sehingga harus dilakukan voting, sementara masih ada substansi lain yang lebih berbahaya dan mendesak untuk diperhatikan dan ditangani, maka merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwa ada kepentingan yang berdiri dibelakangnya.
Kepentingan apa, dan kepentingan siapa yang memaksakan agar ganja dimasukan sebagai golongan Narkotika? Kepentingan apa dan siapa, yang menghendaki agar ganja dilarang di seluruh dunia?
Sejak belasan ribu tahun yang lalu ganja telah menjadi salah satu aset kapital (aset modal) yang paling penting dan paling berharga dalam sejarah pembangunan peradaban dan kebudayaan manusia. Ganja adalah aset kapital karena digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Bunga, biji, daun, dan akar ganja dapat digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Selain itu, bunga dan minyak (getah) digunakan dalam berbagai kegiatan spiritual sejak masa sebelum masehi. Kemudian bijinya, selain untuk obat, juga telah umum digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan bahan bakar sejak ribuan tahun yang lalu.
Namun selain pemanfaatan bunga, biji, daun, dan akar ganja, sejarah juga mengajarkan kepada kita bahwa serat batangnya, sejak belasan ribu tahun silam, juga telah menjadi unsur yang sangat penting dalam proses pembangunan peradaban dan kebudayaan manusia. Kita dapat mempelajari bahwa ternyata tali/tambang, kain, dan kertas yang pertama dibuat oleh manusia adalah dari bahan serat batang ganja. Sejarah maritim dunia juga mengajarkan kepada kita bahwa serat batang ganja adalah bahan baku dalam pembuatan kapal layar. Tali tambang dan layar kapal di masa lalu, dan juga masa kini, menggunakan serat batang ganja sebagai bahan bakunya.
Hal tersebut berarti bahwa telah sejak dahulu kala, ganja adalah aset kapital yang diperebutkan oleh banyak negara dan kekuasaan, untuk dikuasai dan dikelola demi memajukan kepentingannya. Seiring dengan kemajuan teknologi di era modern ini, ternyata posisi dan peran strategis ganja sebagai aset kapital tidak turun nilainya.
Kemajuan teknologi farmasi ternyata tetap menempatkan ganja sebagai bahan baku obat yang sangat penting. Teknologi pengolahan serat batang ganja sebagai bahan baku bagi industri; tekstil, tali, pembuatan rangka dan badan mobil maupun kapal, bahkan militer untuk pembuatan Kevlar (rompi anti peluru), dan masih banyak lagi. Ada lebih dari 50.000 jenis produk yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan ganja.
Segala sesuatu yang masuk dalam kategori aset kapital sudah pasti akan diperebutkan untuk dikuasai dan dimonopoli. Sedangkan cara atau metode untuk dapat menguasi dan memonopoli aset kapital ada berbagai macam bentuknya. Kemudian karena UU menduduki posisi dan peran yang paling penting dan menentukan, termasuk dalam hal pembangunan dan pembentukan cara produksi atau moda produksi (mode of production), maka setiap proses penyusunan dan pembuatan UU pasti akan mendorong kepentingan yang bertujuan menguasi aset kapital untuk bergerak dan berjuang agar UU tersebut dapat mendukung kepentingannya.
Terjadinya “Intervensi Konstitusi”
Dengan demikian kita dapat benar-benar memahami bahwa kepentingan yang melatarbelakngi Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika di New York tahun 1961 adalah kepentingan untuk menguasai dan memonopoli aset kapital yang bernama ganja. Cara atau metode yang digunakan adalah melalui kebijakan pelarangan ganja (cannabis prohibition). Kita dapat menyebut metode atau cara yang demikian sebagai “intervensi konstitusi”; yaitu suatu upaya intervensi yang dilakukan untuk mempengaruhi sistem hukum suatu negara.
Konvensi ’61 tersebut melahirkan rekomendasi agar bagi negara-negara yang sudah meratifikasi hasil konvensi, yang sudah mau mengakui bahwa ganja adalah jenis Narkotika berbahaya, untuk segera menyusun dan mengesahkan sebuah UU Narkotika. Melalui UU tersebut terbentuklah sistem, struktur dan mekanisme yang secara efektif menghalangi setiap upaya penggunaan dan denda yang jauh lebih berat daripada ancaman pidana bagi pelaku tindak kriminal.
Dari penjelasan singkat di atas, semoga semakin disadari bahwa yang memaksa agar ganja dimasukan ke dalam golongan Narkotika dan dilarang di seluruh dunia adalah kepentingan untuk menguasai dan memonopoli aset kapital yang bernama ganja. Kemudian, kira-kira, siapakah yang memiliki kepentingan semacam itu?
Jika kita mengingat asal usul UU Narkotika, maka tidak terlalu sulit untuk menemukan jawabannya. UU tersebut lahir dari Konvensi Narkotika yang diselenggarakan oleh PBB. Maka kita dapat mengerti bahwa yang memiliki kepentingan untuk menguasai dan memonopoli aset kapital yang bernama ganja adalah negara-negara yang paling berkuasa di dalam organisasi pemerintahan dunia tersebut. Tentu bukan hal yang sulit untuk dapat mengetahui siapakah negara-negara yang paling berkuasa di PBB itu. Mereka adalah negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB (DK PBB), para pemegang hak veto, yaitu Amerika Serikat, Inggris (United Kingdom), Prancis, Rusia dan Cina/Tiongkok.
Kemudian untuk dapat membuktikan bahwa negara-negara tersebut memiliki kepentingan untuk memonopoli aset kapital yang bernama ganja, kita dapat melihak dari besarnya produksi barang-barang hasil industri berbasis ganja yang dihasilkan oleh negara-negara tersebut.
Kita akan menemukan bahwa Tiongkok adalah produsen terbesar produk-produk hemp (ganja industri), negara ini juga telah memegang ratusan hak paten produk-produk hemp. Diikuti Prancis dan Rusia sebagai produsen terbesar hemp. Inggris memegang hak paten industri ganja medis dan hemcrete (beton dari serat ganja). Sedangkan Amerika adalah importir terbesar bahan baku industri berbasis hemp. Bahwa sekarang pemerintah Amerika berlaku longgar dengan membiarkan banyak negara bagiannya meregulasi ganja, adalah bukti bahwa AS sedang bersiap-siap untuk menjadi produsen hemp, seperti yang pernah mereka lakukan selama berlangsungnya Perang Dunia Ke-2 (lihat video documenter Hemp for Victory).
Jadi, ganja dilarang untuk digunakan di seluruh dunia adalah karena dia merupakan aset kapital dan setiap aset kapital pasti menjadi sasaran kepentingan monopoli. Sedangkan yang ingin memonopoli adalah para penguasa organisasi pemerintahan dunia/rezim global, yaitu 5 anggota tetap DK PBB, para pemegang hak veto. Sedangkan cara yang digunakan untuk menguasai dan memonopoli aset kapital yang bernama ganja itu dilakukan dengan jalan “intervensi konstitusi”. Dengan begitu dapat secara efektif menjadikan UU sebagai senjata yang menjauhkan rakyat (dan juga negara sendiri) dari aset kapitalnya yang bernama ganja.
Hak Mereka vs Hak Kita
Dari kupasan yang telah saya lakukan, saya harap pembaca mendapatkan gambaran bahwa ada kepentingan-kepentingan (interest) yang terganggu dan terancam jika ganja menjadi legal di Indonesia. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa kepentingan-kepentingan yang berusaha melawan dan menindas gerakan legalisasi ganja Indonesia itu menggunakan senjata berupa UU, yang saat ini adalah UU Narkotika No.35 tahun 2009 dan aparat penegak hukum (Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Kehakiman RI) yang merupakan pelaksana dari UU tersebut.
Dengan demikian, kita sekarang ini sebenarnya ada di dalam situasi pertarungan dan keadaan peperangan antar hak. Hak mereka yang mendukung kepentingan ekonomi-politik global yang ingin menguasai dan memonopoli aset kapital tersebut adalah hak merintangi, melawan, dan terus mengupayakan penindasan gerakan kita menggunakan UU Narkotika, salah satunya dengan jalan menangkapi dan memenjarakan. Sedangkan hak kita adalah hak bergerak, hak berusaha untuk mencari kebebasan beraktifitas dan berkreatifitas agar dapat melepaskan diri dari keadaan sekarang ini, hak mencari keadilan dan keselamatan demi tegaknya kedaulatan tanah air, bangsa, dan negara kita.
Hak mereka adalah hak mengupayakan langgengnya ketidaktahuan seluruh warga negara tentang ganja. Hak mereka adalah terus menerus berusaha untuk membodohi seluruh rakyat, bangsa, dan negara kita dengan senjatanya (UU Narkotika), sedangkan hak kita adalah mengobarkan kebenaran tentang ganja dan manfaatnya sebagai modal untuk menegakkan kedaulatan.
Hak mereka dalam hal ini adalah berhadap-hadapan, beradu dada dengan hak kita semua. Haknya reaksi adalah berhadap-hadapan dengan haknya aksi. Kita, LGN, lokomotif dan gerbong utama gerakan legalisasi ganja Indonesia, yang menganjurkan dan memperjuangkan regulasi pemanfaatan ganja untuk membangun tegaknya kedaulatan, saat ini mendapat cobaan, mendapat tekanan yang semakin berat dan sukar. Tetapi kita dituntut untuk memikul cobaan dan menghadapi tekanan itu dengan ketetapan hati dan kegagahan sikap.
Tidak boleh dan tidak patut, mengingat besar dan luhurnya cita-cita perjuangan kita, kita menunjukan tanda kelembekan dan kelemahan yang tampak dalam setiap kata dan jawaban. Tidak boleh keluar satu tanda kelembekan dan kelemahan yang terdengar dan terbaca dalam pembelaan diri kita dihadapan jaksa dan hakim di dalam sidang pengadilan, maupun dihadapan pengadilan yang lebih besar yang bernama sejarah!
Kita diharuskan mengasah akal budi kita. Kita harus terus menempa batin, roh, dan semangat kita agar menjadi teguh, yakin, dan terang segala sikap dan setiap perbuatan kita. Terang dalam cara kita mengatakannya, dan terang pula di dalam cara kita mengupas dan menjelaskan semua fakta ganja, dan sekaligus hakekat, cita-cita, serta tujuan utama perjuangan legalisasi ganja Indonesia.
Semakin terang dan jernih cara kita mengupas dan menjelaskan persoalan ganja dan cita-cita gerakan legalisasi ganja Indonesia, akan menjadikan kita punya kekuatan, kita punya tenaga, punya kuasa
Sumber