Some potentially good news about cannabis compounds is wafting from the Salk Institute labs in San Diego. Researchers discovered that the main psychoactive compound in marijuana—tetrahydrocannabinol (THC)—and a few other active compounds remove amyloid beta proteins from lab-grown neurons. Amyloid is the toxic protein known to accumulate in the brains of Alzheimer’s patients. The compounds also significantly reduced cellular inflammation, an underlying factor in the disease’s progression.This isn’t the first study to investigate whether the active compounds in cannabis might play a role in battling Alzheimer’s, but it’s the first to find a double-tap effect against both amyloid beta proteins and inflammation.
“Although other studies have offered evidence that cannabinoids might be neuroprotective against the symptoms of Alzheimer’s, we believe our study is the first to demonstrate that cannabinoids affect both inflammation and amyloid beta accumulation in nerve cells,” said Professor David Schubert, senior author of the study, in a Salk Institute press release.
The brain produces its own cannabis-like molecules, endocannabinoids, which play a signaling role between cells, but also seem to protect nerve cells from inflammatory amyloid damage. THC in cannabis activates the same receptors as the body’s endocannabinoids.
“Inflammation within the brain is a major component of the damage associated with Alzheimer’s disease, but it has always been assumed that this response was coming from immune-like cells in the brain, not the nerve cells themselves,” said Antonio Currais, a postdoctoral researcher in Schubert’s laboratory and first author of the paper. “When we were able to identify the molecular basis of the inflammatory response to amyloid beta, it became clear that THC-like compounds that the nerve cells make themselves may be involved in protecting the cells from dying.”
Research on amyloid beta indicates that the protein accumulates for many years before the onset of Alzheimer’s, possibly over decades in some cases. If that’s true, then taking steps earlier in life to decrease its accumulation makes sense. The latest study suggests that the active compounds found in cannabis could help by removing amyloid beta from neurons, similar to the protective function of the body’s home-grown endocannabinoids.
“It is likely that the accumulation of intracellular aggregated protein in the brain occurs throughout life, contributes to cognitive aging, and may also be involved in the initiation of many old age-associated diseases,” said the researchers in the study.
Worth noting: Exercise increases the body’s production of endocannabinoids, which is yet another excellent reason to do it. Aside from its many other well established benefits, exercise may also boost neuroprotective effects against Alzheimer’s and other neurodegenerative diseases like Parkinson’s.
The researchers emphasized that the study is preliminary and the findings haven’t been tested outside a lab, yet. The next step would include clinical trials. So at the moment there’s nothing solid enough here to support using pot or increasing dosage for regular users. Plenty of research is being conducted on the active compounds in cannabis and this is one of the more intriguing findings to come from those efforts of late, but it’s far from conclusive. Put this one in the “promising but not actionable” column for now.
The study was published in the journal Nature: Aging and Mechanisms of Disease.
Sumber
Sabtu, 09 Juli 2016
Sejarah Ganja di Thailand Bagian Ke Satu
Ganja secara historis telah lama digunakan di Asia Tenggara sebagai; bahan makanan, bumbu penyedap, obat-obatan dan sumber serat. Sejarah yang paling terkenal dari Cannabis yang digunakan sebagai bumbu masakan di Thailand adalah noodle soup atau mie sup (kway teeow rua – น้ำ ซุป ก๋วยเตี๋ยว เรือ). Meskipun penggunaan ganja sebagai bumbu di Thailand saat ini dilarang, ganja masih bisa ditemukan di beberapa provinsi di negara-negara tetangga seperti Laos dan Kamboja. Sejarah pengobatan tradisonal di Thailand secara historis menggunakan ganja untuk mengobati berbagai penyakit. The Institute Thailand Healing Arts menjelaskan bahwa cannabis sativa dan cannabis indica sebagai obat analgesik untuk mengendalikan rasa sakit.
Hemp
Serat tanaman ganja secara historis pernah digunakan untuk bahan pakaian dan tali. Etnis minoritas keturunan Cina di Thailand yang bernama Hmong, telah menggunakan ganja sebagai bahan tekstil untuk membuat pakaian dan lainnya. Pakaian berbahan serat hemp adalah produk ekspor dari Thailand yang populer bahkan sampai saat ini.
Hemp juga digunakan pada awal perang Muay Thai. Pejuang Thailand melindungi tangan mereka selama perkelahian dengan pelindung tangan yang terbuat dari hemp yang berbentuk tombol-tombol di atas jari. Metode perlindungan tangan ini pada akhirnya digantikan oleh sarung tinju bergaya barat pada tahun 1920.
Paman Sam di Asia Tenggara
Hubungan Thailand dengan penggunaan ganja untuk rekreasi pertama kali muncul dan menjadi sorotan publik internasional sejak tahun 60-an. Tahun 1960-an ditandai dengan pergolakan sosial di Amerika Serikat, dimana saat itu perhatian bangsa-bangsa terfokuskan pada perang yang berlarut-larut di Asia Tenggara. Sepanjang sejarah manusia, perang telah terbukti menjadi sarana yang ideal dalam pencampuran silang antara ide dan budaya, termasuk aktivitas militer AS di wilayah Asia Tenggara selama era perang Vietnam.
Pada masa perang Vietnam, Thailand menjadi tempat pangkalan militer tentara AS dan daerah tujuan utama tentara yang cuti. Pada kurun waktu tertentu, tentara AS yang berada di Thailand jumlahnya bisa jauh lebih banyak dibanding yang sedang berada di Vietnam. Bahkan, sekitar 80% dari serangan udara AS di Vietnam dipimpin dari basis militer yang berlokasi di Thailand.
Pengalaman tentara AS di Thailand meninggalkan serangkaian catatan budaya. Ini termasuk serangkaian model gaya hidup ala hotel Amerika di Bangkok (Nana, Miami dan hotel Rex) dan budaya kehidupan malam yang terkenal.
Tentara AS dan Mariyuana
Perang Vietnam telah memperkenalkan tentara AS dengan penggunaan ganja untuk tujuan rekreasi.
Dari awal tahun 1965 sampai akhir tahun 1968, jumlah tentara yang ditempatkan di Vietnam tumbuh dari 16.000 menjadi 543.000 orang. Tentara patroli yang ditempatkan di wilayah perang melawan Viet Cong sering melewati ladang ganja yang tumbuh dengan liar.
Pada sebuah survei tahun 1966 yang dilakukan komando militer AS di Saigon menemukan bahwa ada 29 outlet yang melayani pembelian ganja. Beberapa penjual ganja mengeluarkan isi tembakau dalam bungkus rokok dan menggantinya dengan ganja. Ganja dalam bungkus rokok tersebut dijual dengan merek Craven “A” dan Park Lane.
Pasukan militer AS mulai merokok ganja segera setelah kedatangan mereka pada tahun 1963. Meskipun tentara marinir terancam hukuman atas kepemilikan ganja, bahkan untuk jumlah yang sangat kecil, kenyataannya mereka hanya menuntut para bandar dan pengguna narkoba kelas berat (hard drugs). Penangkapan atas kepemilikan mariyuana mencapai puncaknya hingga 1.000 orang tiap minggu.
Meskipun tidak ada data resmi tentang penggunaan ganja oleh tentara AS yang ditempatkan di Thailand, ada catatan yang menunjukkan bahwa tentara yang ditempatkan di Vietnam jelas telah merasakan nikmat dari tanaman ganja. Mengingat penggunaan ganja dilaporkan sangat luas di kalangan tentara yang bertugas di Vietnam, tidak mengherankan jika pengusaha di Thailand melayani kebutuhan para pasukan tempur yang beristirahat dengan menyediakan ganja. Sayangnya sangat sedikit dokumentasi tentang hal itu.
Banyak sumber yang mengaitkan revolusi pemuda tahun 1960-an yang terkenal dengan sebutan “Gerakan Hippy”, merupakan reaksi atas kekecewaan publik secara besar-besaran terhadap pemerintah AS atas keterlibatan militernya di Vietnam. Gerakan Hippy dan penggunaan ganja dapat langsung ditelusuri ke reaksi budaya pada perang Vietnam. Namun, ada transmisi budaya lebih langsung terhadap penggunaan marijuana untuk kebutuhan rekreasi. Transmisi langsung itu adalah hasil dari efek gabungan dari tentara AS yang pulang kenegaranya dengan keuntungan manis dari perdagangan gelap ganja. Permintaan pasar model baru dan jalur distribusi modern memberikan kontribusi yang mendorong popularitas ganja dalam budaya AS.
Pengaruh Budaya Amerika di Thailand
Dari tahun 1960-an sampai dengan 1988, salah satu kartel paling sukses di dunia narkoba dioperasikan dari Bangkok, yaitu pengiriman ratusan ton “Thai stick” secara global. Divisi intelijen Drug Enforcement Administration (DEA) dalam laporannya tahun 2001 mengungkapkan bahwa Thailand adalah kultivator dan produsen ganja terbesar di Asia Tenggara di tahun 1970-an dan 1980-an. Pada saat itu, Thai Stick tercatat sebagai salah satu bentuk yang paling umum dari ganja yang ditemukan di Thailand.
Pengaruh pergaulan dengan tentara AS di Vietnam terlihat dengan jelas dalam kosakata bahasa gaul AS. Kata-kata seperti “bookoo” (berasal dari kata beaucoup yang merupakan istilah Vietnam atau Perancis untuk “banyak” atau “sangat banyak”), “boondocks”, “BUF” (a B-52 aircraft), “Check it out”, “SNAFU” and “R&R” (rest and recreation) untuk cuti tahunan dan liburan rekreasi yang diambil selama satu tahun selama bertugas. Cara menghisap ganja dengan pipe (pipa) disebut dengan istilah “shotgun”. Istilah ini berasal dari nama senapan militer AS yang digunakan pada waktu perang Vietnam. Kata yang paling sering digunakan yaitu, “bong.” Istilah ini juga berasal dari tentara AS di Vietnam. Kata “bong” diyakini berasal dari kata “baung” yang digunakan untuk menggambarkan pipa kayu silinder, tabung, atau wadah yang terbuat dari batang bambu. Penggunaan bong untuk menghisap ganja tercatat pertama kali di Marijuana Review edisi Januari 1971. Bong bambu sampai sekarang masih menjadi item wisata yang populer dan dijual di toko-toko suvenir di seluruh Thailand.
Kehadiran tentara AS selama perang Vietnam meninggalkan pengaruh abadi dalam sejarah politik Thailand. Pengaruh Amerika di Thailand paling terlihat dalam sejarah kebijakan narkotika di Thailand dan beberapa perjanjian internasional seperti perjanjian Ekstradisi AS – Thailand.
Sejarah Hukum Cannabis di Thailand
Dalam sejarah besar yang tercatat di Thailand dan seperti juga di negara lain, Thailand tidak memiliki undang-undang yang melarang penggunaan dan kepemilikan ganja. Hal ini mulai berubah pada awal abad 20. Sebagai salah satu penandatangan asli League of Nations International Opium Convention of 1912 (Konvensi Opium Internasional 1912), Thailand yang pada waktu itu bernama Siam, memberlakukan undang-undang anti-narkoba yang memungkinkannya untuk menerima hibah bantuan internasional yang berupa pinjaman dan keuntungan fasilitas lainnya. Kegagalan dalam mematuhi perjanjian tersebut bisa berakibat fatal bagi negara yang menandatanganinya.
Dalam mematuhi isi perjanjian dalam konvensi, Thailand memperkenalkan UU Anti-Narkotika pada tahun 1912. UU Narkotika BE 2465 meletakkan dasar bagi undang-undang narkoba di Thailand sampai saat ini.
Sebagai dasar perjanjian, Thailand juga diwajibkan untuk mematuhi amandemen USA tahun 1928. Amandemen ini mewajibkan negara-negara penandatangan untuk melarang ekspor Indian Hemp dan melarang penggunaannya.
Pada tahun 1937 Perdana Menteri Thailand, Jenderal Phot Phahonyothin, mengkriminalkan ganja dengan membuat UU yang pertama di negara itu yang secara khusus menargetkan ganja, yaitu UU Marijuana BE 2.477 (1937).
Pada pasal 5, 6 dan 9 dalam UU Marijuana mengamanatkan bahwa siapapun yang menanam atau memiliki biji ganja, baik yang di impor atau ganja yang di ekspor, akan dikenakan hukuman penjara sampai satu tahun, atau denda paling banyak Bht 500 atau sekitar $16,50.
Pada pasal 7, 8, dan 10 dari UU tersebut menetapkan hukuman penjara tidak lebih dari enam bulan atau denda paling banyak Bht 200 atau sekitar $ 6,62 bagi mereka yang tertangkap memiliki, membeli, menjual atau menggunakan ganja. Mereka yang sudah menanam ganja sebelum UU itu disahkan diberi waktu satu tahun untuk memanen dan membuang tanaman mereka.
Meskipun Marijuana Act B.E. 2.477 tidak menentukan jumlah yang spesifik untuk setiap pelanggaran, Commodities Control Act B.E. 2495 tahun 1952 memungkinkan pemerintah untuk mengatur semuanya.
Sumber
Hemp
Serat tanaman ganja secara historis pernah digunakan untuk bahan pakaian dan tali. Etnis minoritas keturunan Cina di Thailand yang bernama Hmong, telah menggunakan ganja sebagai bahan tekstil untuk membuat pakaian dan lainnya. Pakaian berbahan serat hemp adalah produk ekspor dari Thailand yang populer bahkan sampai saat ini.
Hemp juga digunakan pada awal perang Muay Thai. Pejuang Thailand melindungi tangan mereka selama perkelahian dengan pelindung tangan yang terbuat dari hemp yang berbentuk tombol-tombol di atas jari. Metode perlindungan tangan ini pada akhirnya digantikan oleh sarung tinju bergaya barat pada tahun 1920.
Paman Sam di Asia Tenggara
Hubungan Thailand dengan penggunaan ganja untuk rekreasi pertama kali muncul dan menjadi sorotan publik internasional sejak tahun 60-an. Tahun 1960-an ditandai dengan pergolakan sosial di Amerika Serikat, dimana saat itu perhatian bangsa-bangsa terfokuskan pada perang yang berlarut-larut di Asia Tenggara. Sepanjang sejarah manusia, perang telah terbukti menjadi sarana yang ideal dalam pencampuran silang antara ide dan budaya, termasuk aktivitas militer AS di wilayah Asia Tenggara selama era perang Vietnam.
Pada masa perang Vietnam, Thailand menjadi tempat pangkalan militer tentara AS dan daerah tujuan utama tentara yang cuti. Pada kurun waktu tertentu, tentara AS yang berada di Thailand jumlahnya bisa jauh lebih banyak dibanding yang sedang berada di Vietnam. Bahkan, sekitar 80% dari serangan udara AS di Vietnam dipimpin dari basis militer yang berlokasi di Thailand.
Pengalaman tentara AS di Thailand meninggalkan serangkaian catatan budaya. Ini termasuk serangkaian model gaya hidup ala hotel Amerika di Bangkok (Nana, Miami dan hotel Rex) dan budaya kehidupan malam yang terkenal.
Tentara AS dan Mariyuana
Perang Vietnam telah memperkenalkan tentara AS dengan penggunaan ganja untuk tujuan rekreasi.
Dari awal tahun 1965 sampai akhir tahun 1968, jumlah tentara yang ditempatkan di Vietnam tumbuh dari 16.000 menjadi 543.000 orang. Tentara patroli yang ditempatkan di wilayah perang melawan Viet Cong sering melewati ladang ganja yang tumbuh dengan liar.
Pada sebuah survei tahun 1966 yang dilakukan komando militer AS di Saigon menemukan bahwa ada 29 outlet yang melayani pembelian ganja. Beberapa penjual ganja mengeluarkan isi tembakau dalam bungkus rokok dan menggantinya dengan ganja. Ganja dalam bungkus rokok tersebut dijual dengan merek Craven “A” dan Park Lane.
Pasukan militer AS mulai merokok ganja segera setelah kedatangan mereka pada tahun 1963. Meskipun tentara marinir terancam hukuman atas kepemilikan ganja, bahkan untuk jumlah yang sangat kecil, kenyataannya mereka hanya menuntut para bandar dan pengguna narkoba kelas berat (hard drugs). Penangkapan atas kepemilikan mariyuana mencapai puncaknya hingga 1.000 orang tiap minggu.
Meskipun tidak ada data resmi tentang penggunaan ganja oleh tentara AS yang ditempatkan di Thailand, ada catatan yang menunjukkan bahwa tentara yang ditempatkan di Vietnam jelas telah merasakan nikmat dari tanaman ganja. Mengingat penggunaan ganja dilaporkan sangat luas di kalangan tentara yang bertugas di Vietnam, tidak mengherankan jika pengusaha di Thailand melayani kebutuhan para pasukan tempur yang beristirahat dengan menyediakan ganja. Sayangnya sangat sedikit dokumentasi tentang hal itu.
Banyak sumber yang mengaitkan revolusi pemuda tahun 1960-an yang terkenal dengan sebutan “Gerakan Hippy”, merupakan reaksi atas kekecewaan publik secara besar-besaran terhadap pemerintah AS atas keterlibatan militernya di Vietnam. Gerakan Hippy dan penggunaan ganja dapat langsung ditelusuri ke reaksi budaya pada perang Vietnam. Namun, ada transmisi budaya lebih langsung terhadap penggunaan marijuana untuk kebutuhan rekreasi. Transmisi langsung itu adalah hasil dari efek gabungan dari tentara AS yang pulang kenegaranya dengan keuntungan manis dari perdagangan gelap ganja. Permintaan pasar model baru dan jalur distribusi modern memberikan kontribusi yang mendorong popularitas ganja dalam budaya AS.
Pengaruh Budaya Amerika di Thailand
Dari tahun 1960-an sampai dengan 1988, salah satu kartel paling sukses di dunia narkoba dioperasikan dari Bangkok, yaitu pengiriman ratusan ton “Thai stick” secara global. Divisi intelijen Drug Enforcement Administration (DEA) dalam laporannya tahun 2001 mengungkapkan bahwa Thailand adalah kultivator dan produsen ganja terbesar di Asia Tenggara di tahun 1970-an dan 1980-an. Pada saat itu, Thai Stick tercatat sebagai salah satu bentuk yang paling umum dari ganja yang ditemukan di Thailand.
Pengaruh pergaulan dengan tentara AS di Vietnam terlihat dengan jelas dalam kosakata bahasa gaul AS. Kata-kata seperti “bookoo” (berasal dari kata beaucoup yang merupakan istilah Vietnam atau Perancis untuk “banyak” atau “sangat banyak”), “boondocks”, “BUF” (a B-52 aircraft), “Check it out”, “SNAFU” and “R&R” (rest and recreation) untuk cuti tahunan dan liburan rekreasi yang diambil selama satu tahun selama bertugas. Cara menghisap ganja dengan pipe (pipa) disebut dengan istilah “shotgun”. Istilah ini berasal dari nama senapan militer AS yang digunakan pada waktu perang Vietnam. Kata yang paling sering digunakan yaitu, “bong.” Istilah ini juga berasal dari tentara AS di Vietnam. Kata “bong” diyakini berasal dari kata “baung” yang digunakan untuk menggambarkan pipa kayu silinder, tabung, atau wadah yang terbuat dari batang bambu. Penggunaan bong untuk menghisap ganja tercatat pertama kali di Marijuana Review edisi Januari 1971. Bong bambu sampai sekarang masih menjadi item wisata yang populer dan dijual di toko-toko suvenir di seluruh Thailand.
Kehadiran tentara AS selama perang Vietnam meninggalkan pengaruh abadi dalam sejarah politik Thailand. Pengaruh Amerika di Thailand paling terlihat dalam sejarah kebijakan narkotika di Thailand dan beberapa perjanjian internasional seperti perjanjian Ekstradisi AS – Thailand.
Sejarah Hukum Cannabis di Thailand
Dalam sejarah besar yang tercatat di Thailand dan seperti juga di negara lain, Thailand tidak memiliki undang-undang yang melarang penggunaan dan kepemilikan ganja. Hal ini mulai berubah pada awal abad 20. Sebagai salah satu penandatangan asli League of Nations International Opium Convention of 1912 (Konvensi Opium Internasional 1912), Thailand yang pada waktu itu bernama Siam, memberlakukan undang-undang anti-narkoba yang memungkinkannya untuk menerima hibah bantuan internasional yang berupa pinjaman dan keuntungan fasilitas lainnya. Kegagalan dalam mematuhi perjanjian tersebut bisa berakibat fatal bagi negara yang menandatanganinya.
Dalam mematuhi isi perjanjian dalam konvensi, Thailand memperkenalkan UU Anti-Narkotika pada tahun 1912. UU Narkotika BE 2465 meletakkan dasar bagi undang-undang narkoba di Thailand sampai saat ini.
Sebagai dasar perjanjian, Thailand juga diwajibkan untuk mematuhi amandemen USA tahun 1928. Amandemen ini mewajibkan negara-negara penandatangan untuk melarang ekspor Indian Hemp dan melarang penggunaannya.
Pada tahun 1937 Perdana Menteri Thailand, Jenderal Phot Phahonyothin, mengkriminalkan ganja dengan membuat UU yang pertama di negara itu yang secara khusus menargetkan ganja, yaitu UU Marijuana BE 2.477 (1937).
Pada pasal 5, 6 dan 9 dalam UU Marijuana mengamanatkan bahwa siapapun yang menanam atau memiliki biji ganja, baik yang di impor atau ganja yang di ekspor, akan dikenakan hukuman penjara sampai satu tahun, atau denda paling banyak Bht 500 atau sekitar $16,50.
Pada pasal 7, 8, dan 10 dari UU tersebut menetapkan hukuman penjara tidak lebih dari enam bulan atau denda paling banyak Bht 200 atau sekitar $ 6,62 bagi mereka yang tertangkap memiliki, membeli, menjual atau menggunakan ganja. Mereka yang sudah menanam ganja sebelum UU itu disahkan diberi waktu satu tahun untuk memanen dan membuang tanaman mereka.
Meskipun Marijuana Act B.E. 2.477 tidak menentukan jumlah yang spesifik untuk setiap pelanggaran, Commodities Control Act B.E. 2495 tahun 1952 memungkinkan pemerintah untuk mengatur semuanya.
Sumber
Sejarah Ganja di Thailand Bagian Dua
Pada tahun 1976, Raja Thailand Bhumibol Adulyadej memproklamirkan Narcotics Control Act, B.E. 2519 (Undang-Undang Pengawasan Narkotika, BE 2519) yang berupa amanat yang didanai pemerintah AS melalui ONCB (Office of Narcotics Control Board).
Tahun 1975 UU Narkotika Thailand upgrade dengan memasukkan 108 zat psikotropika kedalam klasifikasi narkotika. UU Narkotika Thailand 1922 dan Kratom Plant Act 1943, digabung menjadi UU Narkotika Thailand 1979 (Thailand Narcotics Act, BE 2522).
UU Narkotika Thailand 1979 menyebutkan hukuman untuk kepemilikan ganja di Thailand dengan tuntutan:
Untuk kepemilikan hingga 10kg, hukuman maksimal adalah 5 tahun penjara dan/atau denda 50.000 Baht.
Untuk memiliki lebih dari 10 kg, itu dianggap sebagai kepemilikan dengan maksud untuk menjual. Tuntutan hukum berkisar antara 2 – 15 tahun penjara, dan/atau termasuk denda 20.000 sampai 150.000 Baht.
Untuk kepemilikan 10kg atau lebih dengan maksud untuk produksi, impor atau ekspor ganja, tuntutannya sama.
UU Narkotika di Thailand dan Pengaruh Amerika Serikat
Pemerintah AS membuka kantor DEA (Drug Enforcement Administration) di Bangkok pada tahun 1963. DEA saat ini memiliki kantor di Bangkok, Chiang Mai dan Udon Thani dan baru-baru ini DEA menutup kantornya yang berlokasi di kota Songkhla, sebelah selatan Thailand. Kantor DEA di Thailand terdiri dari 6 persen pegawai DEA yang bekerja di luar negeri yang menjadikan AS sebagai urutan keempat terbesar negara di dunia dalam mengalokasikan personelnya. Pada tahun 2006, Kantor DEA Thailand memiliki 47 personel yang bekerja penuh. Jumlah agen DEA AS yang saat ini bekerja penuh waktu di Thailand tidak diketahui. Agen DEA di Thailand dilaporkan memiliki hak istimewa untuk mempersenjatai dirinya. Jika ini benar, DEA akan menjadi satu-satunya lembaga penegak hukum asing yang diperbolehkan memiliki senjata sendiri.
DEA menjalankan sejumlah program di Thailand. Salah satu program penting adalah program ‘Hot Spot’ yang beroperasi di Pattaya. Program Hot Spot menyediakan hadiah uang tips untuk informan. DEA telah melakukan sejumlah operasi yang dipublikasikan di Thailand termasuk penjebakan (Operation Tiger Trap), operasi sengatan (Sting Operation) dan ekstradisi.
Kebijakan dan Tren
Meskipun Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika 1961 mengklasifikasikan narkotika dalam empat kategori, tetapi UU Narkotika di Thailand dan Controlled Substances Act 1970 di Amerika Serikat sama-sama berisi lima kategori. Berbeda dengan Amerika Serikat, Thailand mengklasifikasikan ganja, jamur ajaib (magic mushrooms), dan daun Kratom (tanaman asli tradisional yang digunakan untuk tujuan pengobatan dengan sifat adiktif yang ringan) ke dalam kategori narkotika paling serius dari kelima kategori yang ada.
Pada tahun 2002 seperti yang dilaporkan dalam surat kabar ‘The Nation’, Perdana Menteri Thailand pernah mengusulkan legalisasi jenis narkotika yang dianggap sedikit berbahaya seperti ganja (soft drug) dalam rangka untuk memikat pecandu agar menjauhi narkotika yang lebih berbahaya (hard drugs). Sementara usulan tidak diterima, tetapi pada prakteknya hukum di Thailand memandang narkotika seperti heroin dan metamfetamin sebagai ancaman yang lebih berbahaya dibandingkan marijuana.
Sekarang, Thailand tidak lagi mempertahankan statusnya sebagai produsen ganja terbesar. Intelijen Divisi Penegakan Hukum DEA pada tahun 2001 melaporkan bahwa upaya pemerintah Thailand selama pemberantasan narkoba telah memaksa pedagang ganja untuk merelokasi pertanian ganja mereka ke negara-negara tetangga seperti Laos atau Kamboja. Namun budidaya tanaman ganja lokal masih bisa ditemui di Timur Laut Thailand, khususnya di provinsi Nakhon Phanom, Mukdahan dan Sakhon Nakhon.
Pada tahun 2003, pemerintah Thailand meluncurkan “Perang Terhadap Narkoba” dalam rangka merespon masuknya metamfetamin (bahasa lokal disebut-ya baa) dari Burma yang membanjiri negeri ini. Pemerintah Thailand mengklaim bahwa penggunaan metamfetamin di Thailand telah meningkat lebih dari 1.000 persen antara tahun 1993 dan 2001.
Catatan awal mengenai perang narkoba dan ketakutan di Thailand sulit didapat, sekalipun dari Kantor ONCB (Office Narcotics Control Board). Tetapi menurut info yang didapat, memang menunjukkan ke arah itu.
Pada tahun 2004, jumlah kasus pengedar ya-baa meningkat 256 persen dari 34.860 pada tahun 2004 dan menjadi 124.121 pada tahun 2009. Sementara kasus yang melibatkan Ice (kristal metamfetamin Hidroklorida) meningkat sebesar 1.411 persen dari 265 kasus pada tahun 2004 dan menjadi 3.464 kasus di tahun 2009. ONCB mengatakan bahwa selama periode yang sama, kasus yang melibatkan ganja meningkat hanya 72,75 persen.
Tahun 2010, ONCB mencatat bahwa ada 138.013 kasus Ya-baa, 712 kasus heroin, 6.669 kasus Kratom, 12.021 kasus ganja kering dan 635 kasus ganja segar.
Tidak jelas mengapa metamfetamin dan penggunaan kratom meningkat, sedangkan penggunaan zat-zat yang lebih “tradisional” seperti ganja lambat. Hal yang menarik adalah data yang menunjukkan bahwa penggunaan heroin menurun. Menurut beberapa laporan, pemuda Thailand menganggap ganja menjadi anakronistik, merupakan peninggalan dari era pertanian yang hilang. Akan tetapi beberapa pemuda Thailand yang kaya lebih menyukai “club drugs” seperti ekstasi dan ketamin.
Thakoon Chantararangsi, seorang pengacara Thailand di yang bekerja di firma hukum Bangkok Chaninat & Leeds bercerita tentang bagaimana wisatawan yang ditangkap karena ganja diperlakukan dalam sistem peradilan Thailand. Ganja adalah ilegal di Thailand dan bagi yang tertangkap akan mendapatkan tuntutan hukum yang serius. Tetapi kebanyakan orang yang ditangkap karena kepemilikan ganja dalam jumlah kecil hanya dikenakan denda, bukan di penjara walaupun sebenarnya hakim memiliki kebijaksanaan untuk menjatuhkan hukuman penjara. Polisi Narkotika di Thailand saat ini melihat metamfetamin (ice dan ya baa) sebagai isu yang lebih serius.
Kebudayaan dan Reformasi
Tidak seperti Amerika Utara, Eropa dan daerah lainnya, gerakan legalisasi ganja tidak nampak jelas di Thailand. Akan tetapi sub-kultur yang sangat pro-ganja dalam budaya Thailand dapat kita rasakan terutama pada musik dan fashion.
Seperti “Gerakan Hippy”, di Thailand ada sebuah gerakan yang disebut gerakan “Peua Cheewit” (terjemahan: “untuk hidup”) adalah gerakan musik dan sosial yang didirikan pada 1970-an di era turbulen dalam sejarah Thailand. Para pendiri gerakan Cheewit Peua adalah mahasiswa dari Universitas Ramkhamhaeng dan Thammasart, yang melakukan protes terhadap apa yang mereka anggap suatu praktik represif pemerintah Thailand. Gerakan tersebut merupakan bagian dari gerakan demokrasi di Thailand pada saat itu.
Banyak protes berakhir dengan kekerasan. Misalnya pada tahun 1976, empat puluh enam mahasiswa ditembak oleh pasukan pemerintah saat demo protes di kampus Universitas Thammasat (disebut sebagai Pembantaian Universitas Thammasat). Namun demikian, gerakan yang mendorong perubahan politik di beberapa daerah telah menciptakan budaya anak muda berdasarkan gaya hidup egaliter dan non-materialistik.
Dua grup band yang paling terkenal dari gerakan Cheewit Peua adalah Carabao dan Maleewana. Nama Maleewana itu sebenarnya mengambil pada nama mariyuana. Marijuana bukan kata umum untuk ganja di Thailand. Di Thailand marijuana/cannabis disebut dengan nama “ganja”. Video clip band Maleewana yang berjudul “Kratom Ganja” merupakan aliran klasik folk-rock Thailand yang bercerita tentang sebuah pertanian ganja di pedesaan. Carabao juga memiliki lagu tentang ganja berjudul “Marijuana Gunja.”
Serat Hemp masih menjadi bahan baku yang populer untuk membuat kemeja, celana, dan jenis-jenis item pakaian di Thailand. Simbol internasional dukung legalisasi ganja seperti logo bergambar daun ganja dapat ditemukan pada t-shirt di Thailand. Biasanya generasi muda Thailand mengenakan pakaian yang dihiasi dengan motif daun ganja.
Musik Reggae sangat populer di Thailand, khususnya di kalangan kaum muda Thailand. Kecenderungan ini bisa dilihat dari musik yang diputar di berbagai bar dan klub di Bangkok, Chiang Mai, dan pulau-pulau Thailand untuk wisatawan. Meskipun banyak penggemar Reggae menikmati musik dan fashion tanpa merokok ganja, artikel tentang hemp clothing (pakaian yang terbuat dari serat ganja) dan logo daun ganja adalah bagian intrinsik dari budaya Reggae. Banyak turis dari aliran counter-culture berkumpul di Thailand dengan tujuan pariwisata ganja. Menurut Chaninat & Leeds, “karena wisata ganja sudah umum diketahui banyak orang bukan berarti Anda tidak akan ditangkap karena menggunakan ganja.” Banyak kasus penangkapan narkoba berasal dari daerah wisata seperti Khao San Road dan Koh Phangan. (cpt)
Sumber
REFORMASI HUKUM NARKOBA
Dengan cara bagaimana Italia akan merubah hukum ganjanya agar bisa segera terealisasi ?
http://idpc.net/…/how-and-why-italy-s-cannabis-laws-could-s…
8 Juli 2016
Pada bulan ini, parlemen Italia akan mulai berdebat untuk perubahan bersejarah hukum ganja yang akan menjadi obat legal.
Hari berikutnya, politisi akan mulai voting, apakah atau tidak untuk mengirim RUU kemajelis tinggi untuk persetujuan akhir.
Jika undang-undang baru telah disahkan, bagaimana hal-hal akan berubah?
Jelas, proposal yang diperdebatkan mungkin akan mengalami beberapa perubahan jika mereka ingin membuatnya menjadi legal. Namun, dalam proposal bentuk mereka saat ini akan memungkinkan:
Possession: Warga akan dapat menyimpan hingga 15 gram herba di rumah dan lima gram ketika mereka pergi keluar rumah dan sekitarnya
Menanam Cannabis: Orang akan bebas untuk menumbuhkan maksimal sampai lima tanaman di rumah, tetapi dilarang untuk menjual kepada siapapun. Petani akan diizinkan untuk bergabung bersama untuk membentuk klub sosial tidak lebih dari 50 anggota, di mana mereka dapat bertukar dan berbagi produk mereka. Namun mereka dilarang menjual ganja dari hasil tanaman mereka.
Penjualan : Cannabis akan dijual di toko-toko berlisensi yang dimonopoli oleh negara. Lima persen dari seluruh pendapatan dari penjualan akan pergi ke arah pemberantasan obat-obatan terlarang di Italia.
Pembatasan: Setelah ganja tersedia, maka akan dilarang untuk merokok di tempat umum, termasuk ditaman. Saat mengemudi juga ilegal.
Klik di sini untuk membaca artikel lengkap.
http://www.thelocal.it/…/how-and-why-italys-cannabis-laws-c…
Langganan:
Postingan (Atom)