Ganja secara historis telah lama digunakan di Asia Tenggara sebagai; bahan makanan, bumbu penyedap, obat-obatan dan sumber serat. Sejarah yang paling terkenal dari Cannabis yang digunakan sebagai bumbu masakan di Thailand adalah noodle soup atau mie sup (kway teeow rua – น้ำ ซุป ก๋วยเตี๋ยว เรือ). Meskipun penggunaan ganja sebagai bumbu di Thailand saat ini dilarang, ganja masih bisa ditemukan di beberapa provinsi di negara-negara tetangga seperti Laos dan Kamboja. Sejarah pengobatan tradisonal di Thailand secara historis menggunakan ganja untuk mengobati berbagai penyakit. The Institute Thailand Healing Arts menjelaskan bahwa cannabis sativa dan cannabis indica sebagai obat analgesik untuk mengendalikan rasa sakit.
Hemp
Serat tanaman ganja secara historis pernah digunakan untuk bahan pakaian dan tali. Etnis minoritas keturunan Cina di Thailand yang bernama Hmong, telah menggunakan ganja sebagai bahan tekstil untuk membuat pakaian dan lainnya. Pakaian berbahan serat hemp adalah produk ekspor dari Thailand yang populer bahkan sampai saat ini.
Hemp juga digunakan pada awal perang Muay Thai. Pejuang Thailand melindungi tangan mereka selama perkelahian dengan pelindung tangan yang terbuat dari hemp yang berbentuk tombol-tombol di atas jari. Metode perlindungan tangan ini pada akhirnya digantikan oleh sarung tinju bergaya barat pada tahun 1920.
Paman Sam di Asia Tenggara
Hubungan Thailand dengan penggunaan ganja untuk rekreasi pertama kali muncul dan menjadi sorotan publik internasional sejak tahun 60-an. Tahun 1960-an ditandai dengan pergolakan sosial di Amerika Serikat, dimana saat itu perhatian bangsa-bangsa terfokuskan pada perang yang berlarut-larut di Asia Tenggara. Sepanjang sejarah manusia, perang telah terbukti menjadi sarana yang ideal dalam pencampuran silang antara ide dan budaya, termasuk aktivitas militer AS di wilayah Asia Tenggara selama era perang Vietnam.
Pada masa perang Vietnam, Thailand menjadi tempat pangkalan militer tentara AS dan daerah tujuan utama tentara yang cuti. Pada kurun waktu tertentu, tentara AS yang berada di Thailand jumlahnya bisa jauh lebih banyak dibanding yang sedang berada di Vietnam. Bahkan, sekitar 80% dari serangan udara AS di Vietnam dipimpin dari basis militer yang berlokasi di Thailand.
Pengalaman tentara AS di Thailand meninggalkan serangkaian catatan budaya. Ini termasuk serangkaian model gaya hidup ala hotel Amerika di Bangkok (Nana, Miami dan hotel Rex) dan budaya kehidupan malam yang terkenal.
Tentara AS dan Mariyuana
Perang Vietnam telah memperkenalkan tentara AS dengan penggunaan ganja untuk tujuan rekreasi.
Dari awal tahun 1965 sampai akhir tahun 1968, jumlah tentara yang ditempatkan di Vietnam tumbuh dari 16.000 menjadi 543.000 orang. Tentara patroli yang ditempatkan di wilayah perang melawan Viet Cong sering melewati ladang ganja yang tumbuh dengan liar.
Pada sebuah survei tahun 1966 yang dilakukan komando militer AS di Saigon menemukan bahwa ada 29 outlet yang melayani pembelian ganja. Beberapa penjual ganja mengeluarkan isi tembakau dalam bungkus rokok dan menggantinya dengan ganja. Ganja dalam bungkus rokok tersebut dijual dengan merek Craven “A” dan Park Lane.
Pasukan militer AS mulai merokok ganja segera setelah kedatangan mereka pada tahun 1963. Meskipun tentara marinir terancam hukuman atas kepemilikan ganja, bahkan untuk jumlah yang sangat kecil, kenyataannya mereka hanya menuntut para bandar dan pengguna narkoba kelas berat (hard drugs). Penangkapan atas kepemilikan mariyuana mencapai puncaknya hingga 1.000 orang tiap minggu.
Meskipun tidak ada data resmi tentang penggunaan ganja oleh tentara AS yang ditempatkan di Thailand, ada catatan yang menunjukkan bahwa tentara yang ditempatkan di Vietnam jelas telah merasakan nikmat dari tanaman ganja. Mengingat penggunaan ganja dilaporkan sangat luas di kalangan tentara yang bertugas di Vietnam, tidak mengherankan jika pengusaha di Thailand melayani kebutuhan para pasukan tempur yang beristirahat dengan menyediakan ganja. Sayangnya sangat sedikit dokumentasi tentang hal itu.
Banyak sumber yang mengaitkan revolusi pemuda tahun 1960-an yang terkenal dengan sebutan “Gerakan Hippy”, merupakan reaksi atas kekecewaan publik secara besar-besaran terhadap pemerintah AS atas keterlibatan militernya di Vietnam. Gerakan Hippy dan penggunaan ganja dapat langsung ditelusuri ke reaksi budaya pada perang Vietnam. Namun, ada transmisi budaya lebih langsung terhadap penggunaan marijuana untuk kebutuhan rekreasi. Transmisi langsung itu adalah hasil dari efek gabungan dari tentara AS yang pulang kenegaranya dengan keuntungan manis dari perdagangan gelap ganja. Permintaan pasar model baru dan jalur distribusi modern memberikan kontribusi yang mendorong popularitas ganja dalam budaya AS.
Pengaruh Budaya Amerika di Thailand
Dari tahun 1960-an sampai dengan 1988, salah satu kartel paling sukses di dunia narkoba dioperasikan dari Bangkok, yaitu pengiriman ratusan ton “Thai stick” secara global. Divisi intelijen Drug Enforcement Administration (DEA) dalam laporannya tahun 2001 mengungkapkan bahwa Thailand adalah kultivator dan produsen ganja terbesar di Asia Tenggara di tahun 1970-an dan 1980-an. Pada saat itu, Thai Stick tercatat sebagai salah satu bentuk yang paling umum dari ganja yang ditemukan di Thailand.
Pengaruh pergaulan dengan tentara AS di Vietnam terlihat dengan jelas dalam kosakata bahasa gaul AS. Kata-kata seperti “bookoo” (berasal dari kata beaucoup yang merupakan istilah Vietnam atau Perancis untuk “banyak” atau “sangat banyak”), “boondocks”, “BUF” (a B-52 aircraft), “Check it out”, “SNAFU” and “R&R” (rest and recreation) untuk cuti tahunan dan liburan rekreasi yang diambil selama satu tahun selama bertugas. Cara menghisap ganja dengan pipe (pipa) disebut dengan istilah “shotgun”. Istilah ini berasal dari nama senapan militer AS yang digunakan pada waktu perang Vietnam. Kata yang paling sering digunakan yaitu, “bong.” Istilah ini juga berasal dari tentara AS di Vietnam. Kata “bong” diyakini berasal dari kata “baung” yang digunakan untuk menggambarkan pipa kayu silinder, tabung, atau wadah yang terbuat dari batang bambu. Penggunaan bong untuk menghisap ganja tercatat pertama kali di Marijuana Review edisi Januari 1971. Bong bambu sampai sekarang masih menjadi item wisata yang populer dan dijual di toko-toko suvenir di seluruh Thailand.
Kehadiran tentara AS selama perang Vietnam meninggalkan pengaruh abadi dalam sejarah politik Thailand. Pengaruh Amerika di Thailand paling terlihat dalam sejarah kebijakan narkotika di Thailand dan beberapa perjanjian internasional seperti perjanjian Ekstradisi AS – Thailand.
Sejarah Hukum Cannabis di Thailand
Dalam sejarah besar yang tercatat di Thailand dan seperti juga di negara lain, Thailand tidak memiliki undang-undang yang melarang penggunaan dan kepemilikan ganja. Hal ini mulai berubah pada awal abad 20. Sebagai salah satu penandatangan asli League of Nations International Opium Convention of 1912 (Konvensi Opium Internasional 1912), Thailand yang pada waktu itu bernama Siam, memberlakukan undang-undang anti-narkoba yang memungkinkannya untuk menerima hibah bantuan internasional yang berupa pinjaman dan keuntungan fasilitas lainnya. Kegagalan dalam mematuhi perjanjian tersebut bisa berakibat fatal bagi negara yang menandatanganinya.
Dalam mematuhi isi perjanjian dalam konvensi, Thailand memperkenalkan UU Anti-Narkotika pada tahun 1912. UU Narkotika BE 2465 meletakkan dasar bagi undang-undang narkoba di Thailand sampai saat ini.
Sebagai dasar perjanjian, Thailand juga diwajibkan untuk mematuhi amandemen USA tahun 1928. Amandemen ini mewajibkan negara-negara penandatangan untuk melarang ekspor Indian Hemp dan melarang penggunaannya.
Pada tahun 1937 Perdana Menteri Thailand, Jenderal Phot Phahonyothin, mengkriminalkan ganja dengan membuat UU yang pertama di negara itu yang secara khusus menargetkan ganja, yaitu UU Marijuana BE 2.477 (1937).
Pada pasal 5, 6 dan 9 dalam UU Marijuana mengamanatkan bahwa siapapun yang menanam atau memiliki biji ganja, baik yang di impor atau ganja yang di ekspor, akan dikenakan hukuman penjara sampai satu tahun, atau denda paling banyak Bht 500 atau sekitar $16,50.
Pada pasal 7, 8, dan 10 dari UU tersebut menetapkan hukuman penjara tidak lebih dari enam bulan atau denda paling banyak Bht 200 atau sekitar $ 6,62 bagi mereka yang tertangkap memiliki, membeli, menjual atau menggunakan ganja. Mereka yang sudah menanam ganja sebelum UU itu disahkan diberi waktu satu tahun untuk memanen dan membuang tanaman mereka.
Meskipun Marijuana Act B.E. 2.477 tidak menentukan jumlah yang spesifik untuk setiap pelanggaran, Commodities Control Act B.E. 2495 tahun 1952 memungkinkan pemerintah untuk mengatur semuanya.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar